Senin, 25 Januari 2010

Menelusuri Jejak Sejarah Kota Sampit

Menelusuri jejak sejarah Kota
Sampit, nama ibukota
Kotawaringin Timur itu ternyata
tak lepas dari pengaruh budaya
Tionghoa. Konon, asal mula
nama Sampit diambil dari bahasa
Cina, yang artinya Sam (tiga) dan
It (satu). Bagaimana sejarahnya?

Sejarah Sampit tak lepas dari
sejarah Kotawaringin Timur.
Secara historis, semuanya tak
terlepas dari pemerintahan
Majapahit dan masuknya agama
Islam ke Kalimantan, yang saat
itu wilayah pantai Kalimantan
Tengah bagian selatan dikuasai
oleh Kerajaan Demak.

Sejarah Kotawaringin Timur
sendiri dimulai dengan
masuknya pengaruh kerajaan
Hindu Majapahit di tahun 1365,
dengan mengangkat kepala-
kepala suku menjadi menteri
kerajaan. Ini dikuatkan dengan
disebutnya daerah Kotawaringin
dalam pupuh XIII
Nagarakretagama karya Mpu
Prapanca.

Pada masa itu disebutkan,
terutama pada masa keemasan
Kerajaan Majapahit, yang
diperintah oleh Raja Hayam
Wuruk dengan mahapatihnya
yang tersohor yaitu Gajah mada.
Di salah satu bagian buku yang
ditulis oleh Mpu Prapanca pada
1365 itu juga disebutkan, bahwa
pernah dilakukan ekspedisi
perjalanan Nusantara di mana
salah satu tempat yang mereka
singgahi adalah Sampit dan
Kuala Pembuang.

Sedangkan nama Kotawaringin
sendiri berasal dari nama pohon
beringin yang banyak tumbuh di
daerah ini. Pohon ini mempunyai
akar yang panjang dan daun
yang lebat (Yusuf dan Kassu,
1989: 48).

Terlepas dari itu, munculah di
Kotawaringin sebuah
pemukiman penduduk yang saat
ini dijadikan sebagai ibukota
Kabupaten, yang dinamakan
Sampit. Nah, bagaimana
sejarahnya hingga dinamakan
Sampit? Data sejarah yang ada di
Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kotim menyebutkan, bahwa
sejarah Sampit tak lepas dari
kisah kedatangan 31 orang Cina
yang masuk ke Sungai Mentaya
dan menetap di tepian Sungai.

Di dalam sejarah yang
diterbitkan oleh Bappeda Kotim,
tidak disebutkan di mana letak
persis lokasi pendaratan etnis
Tionghoa ini. Yang jelas,
kedatangan 31 orang Cina ini
adalah untuk berdagang dan
membuka usaha perkebunan di
wilayah Kotawaringin Timur ini.

Lantaran jumlah pedagang dari
Cina ini berjumlah 31 itulah, atau
dalam bahasa Cinanya tiga
adalah Sum dan satu disebut It,
maka jika digabungkan kedua
sebutan angka tersebut menjadi
Samit; entah siapa yang kali
pertama menyebutkan nama
Samit menjadi Sampit. Yang jelas,
tempat mereka datang
kemudian dikenal dengan nama
Sampit, yang kemudian
diabadikan hingga menjadi
ibukota kabupaten hingga
sekarang.

Sejarahnya, orang-orang Cina ini
bukan saja berdomisili dan
berusaha di wilayah Sampit,
namun mereka juga
mengembangkan usaha hingga
ke wilayah Samuda, yang dikenal
menjadi basis pertahanan
pejuang ketika melawan
penjajahan Belanda dan Jepang.

Etnis-etnis Tionghoa ini berbaur
menjadi satu bersama warga
setempat baik dengan warga
etnis Dayak, maupun warga etnis
lainnya yang hidup di pesisir
pantai seperti daerah Samuda.
Karena, saat itu, wilayah
Kotawaringin sendiri sudah
dikenal menjadi wadah tujuan
perdagangan dari luar Sampit,
sehingga sudah dikenal
memunyai multi etnik yang
terdiri beberapa suku bangsa.

Keberadaan orang-orang Cina ini
tentu saja selain memengaruhi
kehidupan perekonomian
warga, juga memberikan
pengaruh terhadap arsitektur
lokal Sampit sendiri. Sehingga
arsitekturnya dikenal dengan
sebutan arsitektur Bahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar